Page 9 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 9

37

 political will pihak berkepentmgan mengakibatkan perlidungan
 terhadap lahan perkebunan kopi berkelanjutan pun lemah.

 b. Banyaknya tanaman kopi yang masuk usia tidak produktif.
        Sebagai ilustrasi, sekitar 49 persen (terjadi di Lampung) tanam

 kopi berusia lebih dari 20 tahun tetapi tidak dilakukan peremajaan
 (rehabilitasi), hal ini tidak mencermikan pola penanaman tanaman kopi
secara berkelanjutan. Situasi seperti ini sangat memungkinkan terjadi
di daerah-daerah penghasil kopi lainnya. Di samping itu, rendahnya
kualitas kopi yang dihasilkan petani memberikan efek bagi tingkat
kesejahteraan petani sehingga mengakibatkan mereka mengalami
kesulitan pendanaan dalam rangka mewujudkan pola penanaman
tanaman kopi berkelanjutan.

c. Belum terjalinnya hubungan sinergis antara stakeholder.
        Hal ini ditandai dengan adanya kesenjangan cukup tinggi antara

usaha perkebunan (negara dan swasta) dengan perkebunan rakyat
yang tampak pada perbedaan produktifitas perkebunan yang sangat
mencolok. Produktifitas perkebunan kopi rakyat yang hanya sekitar
0,54 ton per hektar, sementara usaha perkebunan mencapai 1,13 ton
per hektar mengindikasikan bahwa sistem kemitraan masih belum
berjalan dengan baik. Di samping itu, rendahnya kualitas kopi biji yang
dihasilkan perkebunan rakyat juga menjadi salah satu indikator
hubungan antara pemerintah (pemda) - usaha perkebunan - petani
masih tidak harmonis. Pada sisi lain, sebagian petani sebenarnya
telah memproduksi kopi biji berkualitas tinggi melalui pemanfaatan
pupuk organik dari sampah cangkang biji kopi, namun hasil produksi
mereka tidak dapat digolongkan berkualitas premium (organik) hanya
dikarenakan mereka bukan anggota kelompok tani binaan lembaga
penerbit sertifikat organik. Tentu hasil produksi tersebut dijual dengan
harga rendah.
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14