Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13

41- -

      h). Tentang Bendera, Lambang dan Hymne
      Semua kekhususan tersebut dalam implikasinya haruslah dituangkan
dalam qanun-qanun sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang
tersebut di atas. Di sinilah terbuka kemungkinan masuknya ide-ide dan
gagasan yang dapat mengarah kepada disintegrasi nasional, bahkan dapat
mengganggu kekokohan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai
contoh, sebagaimana telah disebut sebelumnya Qanun Wali Nanggroe No. 8
tahun 2012 menerbitkan rumusan tentang tujuan lembaga wali nanggroe
adalah untuk “m ew ujudkan pem erintahan rakyat A ceh yang sejahtera dan
berm artabat“ Rumusan ini tentu dapat menimbulkan kontroversi bahkan
tumpang tindih dengan pemerintahan yang ada sebelumnya. Demikian juga
Qanun tentang Bendera dan Lambang, yang menimbulkan friksi dengan
pemerintah pusat karena bendera Aceh yang ditampilkan ternyata masih sama
dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebelumnya.

      b). Potensi Lahirnya Qanun-qanun yang Bertentangan dengan
           Peraturan Perundang-undangan yang Lebih Tinggi

      Sebenarnya lahirnya qanun yang isinya berbeda dengan ketentuan
umum yang ada secara nasional, adalah wajar-wajar saja. Justru di situlah
artinya pengakuan keistimewaan suatu daerah/provinsi di Indonesia yang
terkait dengan latar belakang sejarah masing-masing. Pengakuan
keistimewaan semacam ini justru akan memperkuat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, karena daerah merasa aspirasinya mendapat akomodasi
sepatutnya. Yang menjadi persoalan adalah jika keistimewaan yang telah
diberikan justru digunakan diterapkan secara eksesif dan melebihi ketentuan
yang ada. Kembali di sini ditampilkan contoh tentang Qanun Wali Nanggroe
No. 8 tahun 2012.

       Dalam pasal 96 Undang-undang No. 11 tahun 2006 jelas disebutkan
bahwa Wali Nanggroe merupakan kepem im pinan ad at dan bukan m erupakan
lem baga politik dan lem baga pem erintahan. Tetapi pasal 3 Qanun Wali
   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18