Page 7 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 7
37
sulit mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Adanya kesenjangan antara kebijakan desentralisasi dan
implementasinya tercermin dari komitmen Pemerintah Pusat yang
belum secara jelas mendorong otonomi daerah secara bertahap di
bidang kehutanan. Sementara di sisi lain Pemerintah Daerah belum
dapat menujukkan komitmen kemampuannya untuk mengurus hutan
yang ada di wilayahnya secara baik dan bertanggung jawab. Selain
itu desentralisasi juga menyebabkan perebutan kewenangan dan
eksploitasi hutan untuk tujuan meningkatkan PA D , yang berdampak
pada makin luasnya hutan yang rusak, tidak jelasnya distribusi
manfaat dan finansial dari pemanfaatan hutan, termasuk dalam hal ini
adalah mengenai konversi kawasan hutan berdasarkan permohonan
pemerintah daerah dalam revisi R T R W Provinsi atau Kabupaten yang
tidak terlebih dahulu memperoleh izin dari Kementerian Kehutanan.
e. Belum harmonisnya peraturan perundang-undangan terkait
Belum adanya harmonisasi antara penataan ruang wilayah
sebagaimana diatur dalam U U Nom or 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dengan U U Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (U U P R ), baik dalam ketentuan peraturan pelaksanaan di
bawahnya maupun dalam detail implementasinya.
Sejatinya rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten di
sektor kehutanan harus sesuai dengan U U P R . Namun lahirnya U U
Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi daerah kepada
kota/kabupaten untuk mengatur sendiri daerahnya termasuk masalah
ruang, menjadikan penataan ruang dapat tidak sejalan dengan
otonomi daerah, apabila penataan ruang terlalu berorientasi pada
PA D . Hal ini dibuktikan dari hasil evaluasi hingga tahun 2008,
terdapat beberapa usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi, khususnya provinsi di luar Pulau Jawa, yang mengusulkan
perubahan peruntukan dan fungsi hutan.
Kementerian Kehutanan telah menerima usulan alih fungsi 15
juta hektar kawasan hutan dari 12 Pemerintah Daerah Provinsi dan 6

