Page 7 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 7

LANDASAN PEMIKIRAN

  6. Umum
           Pada era Perang Kemerdekaan maupun pada masa perjuangan

 diawal kemerdekaan, pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia lebih
 ditujukan untuk menghadapi kekuatan asing yang berniat mengembalikan
 kekuasaan kolonialnya disamping untuk memadamkan berbagai
 pemberontakan bersenjata di dalam negeri (PRRI/Permesta, dsb) serta
 demi mempertahankan kedaulatan dan integritas negara kesatuan RI. Hal
 ini ditunjukkan dengan pembelian persenjataan dari berbagai sumber,
 termasuk penyelundupan senjata yang dilakukan oleh John Lie dengan
 kapal The Outlaw untuk menghadapi Agresi Militer Belanda (1948) dan
pembelian berbagai senjata dari Uni Soviet dan RRT (RepublikJ|Rakyat
Tiongkok) pada masa Orde Lama untuk perjuangan Trikora dan Dwikora.14

          Situasi tersebut berubah saat Indonesia memasuki Orde Baru. Saat
itu TNI menetapkan doktrin yang menyatakan bahwa tentara memiliki
peranan rangkap sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial politik”
atau Dwifungsi ABRI yang secara garis besar menetapkan tiga macam
garis militer. Pertama, sebagai penjaga keamanan negara terhadap
ancaman dan invasi asing. Kedua, sebagai penjaga keamanan
masyarakat Indonesia terhadap berbagai ancaman internal. Ketiga,
sebagai komponen bangsa yang ikut melaksanakan peran sosial politik.15

         Akibat dari pemberlakuan Dwifungsi tersebut, perkembangan
industri pertahanan Indonesia mengalami stagnasi. Hal ini dapat dilihat
dari menurunnya jumlah pesawat yang dapat dioperasionalkan oleh TNI-
AU setelah pecahnya insiden G-30S/PKI. Perubahan haluan politik tidak
diikuti dengan pembangunan industri pertahanan yang dapat memproduksi
suku cadang senjata, sehingga semua alutsista buatan Blok Tim ur yang
banyak dibeli untuk TNI tidak dapat dioperasikan. Bahkan menjelang

14Adi Patrianto Singgih, "John Ue" dalam Majalah Angkasa Edisi Koleksi XXXIV: The Great Sea
Warfare (Jakarta: Oispen AU, 2007), him. 38-39.
15 Sutoro Eko (ed.), Masyarakat Pascamiliter: Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia
(Yogyakarta: IRE, 2000), him. 56.
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12