Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
53
bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi
dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu
sama lain. Namun perubahan UUD 1945 justru mencerminkan sistem
perwakilan yang tidak dapat dikatakan sebagai bikameral, dimana DPD sama
sekali tidak diberi kewenangan yang setara dengan DPR. Kewenangan DPD
hanyalah bersifat tambahan dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan
langsung dengan kepentingan daerah. Ditambah lagi dengan melihat
komposisi susunan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD semakin
meniadakan kesan dianutnya sistem bikameral dalam sistem perwakilan di
Indonesia pasca perubahan UUD 1945.
Pada awal pembentukan, DPD dimaksudkan untuk membentuk sistem
perwakilan dua kamar, akan tetapi proses pembahasan amandemen UUD
1945 terlihat bahwa memang berkenaan dengan masalah kewenangan DPD,
sebagian besar fraksi tidak menghendaki dianutnya strong bicameralism
dimana antara DPR dan DPD memiliki kekuasaan yang relative seimbang.
Sehingga berkaitan dengan kewenangan dari DPD adalah apa yang kini telah
dirumuskan sedemikian rupa di dalam UUD 1945 hasil perubahan yakni
kewenangan yang serba terbatas.
Sehubungan dengan hal tersebut, tampaknya memang bukan sistem
perwakilan dua kamar (bikameral) yang dianut oleh UUD 1945 pasca
amandemen sebab rumusan pasal 2 ayat (1): “MPR terdiri atas anggota DPR
dan DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang”. Dengan demikian MPR bukan hasil penggabungan dua lembaga
DPR dan DPD, tetapi gabungan anggota DPR dan DPD.38
Menurut Agus Haryadi dalam tulisannya mengenai ‘Bikameralisme
Setengah Hati’ dalam harian Kompas, dalam hal jumlah anggota,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22C ayat (2) amandemen ketiga UUD
1945 ditegaskan, jumlah keseluruhan anggota DPD tidak melebihi sepertiga
anggota DPR. Hal ini akan mengakibatkan dominasi DPR dalam memutuskan
hal-hal krusial di MPR. Dengan komposisi semacam ini agaknya sulit untuk
tidak menyatakan bahwa keberadaan DPD lebih merupakan unsur suplemen
38 Ni’matul Huda, HukumTata Negara Indonesia”, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2007.
Hal, 221