Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14

28

 kebutuhan dalam negeri, menjadi andalan ekspor yang
 menghasilkan devisa negara, serta mendukung pendapatan negara
 dan daerah dalam rangka penyelenggaraan pembangunan, namun
 pengelolaannya masih dirasakan adanya sejumlah kelemahan.
 Dorongan orientasi ekonomi untuk memacu peningkatan
 pendapatan, telah menjadikan terjadinya industrialisasi dalam
 pengelolaan kekayaan alam yang berkembang secara cepat dari
waktu ke waktu serta dalam cakupan wilayah yang semakin luas.
 Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kondisi tersebut dalam
jangka pendek menghasilkan keuntungan yang besar, namun
ternyata memiliki sisi lemah dalam jangka panjang. Contohnya di
sektor kehutanan dan pertanian awalnya dilakukan secara "manual”
dan dalam skala kecil oleh petani atau kelompok petani, tergeser
oleh kekuatan dan aktivitas industri yang berimplikasi pada
penggundulan dan kerusakan lahan. Kondisinya semakin
diperparah dengan invasi lahan yang deras oleh penduduk serta
pemburu dan makelar tanah untuk kepentingan pembangunan
perumahan, jalan dan sebagainya.

         Pendapatan atau nilai manfaat ekonomi dari pengelolaan
kekayaan alam, banyak ditemukan semakin didominasi atau
mengalir pada sejumlah kecil pelaku, sementara sebagian pihak
yang umumnya adalah masyarakat kecil dalam berbagai tataran
tersisih dan terabaikan, bahkan dirugikan oleh dampak yang timbul
dari proses pengelolaannya. Lebih jauh lagi, pengelolaan sumber
kekayaan tersebut, terutama pada sektor-sektor yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, diantaranya justru memberikan keuntungan sangat
tinggi bagi negara atau perusahaan asing, seperti pengelolaan
mineral di Tembagapura oleh PT. Freeport serta di Kalimantan dan
Nusa Tenggara oleh PT. Newmont, penambangan minyak serta gas
alam di NAD dan Cepu oleh PT. Exxon Mobil dll. Pelaksanaan
kerjasama pengelolaan dengan sistem kontrak karya, dimana
pendapatan negara umumnya terbatas pada kompensasi/sewa
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18