Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8

22

      Teori ini menjadikan peranan produsen dan inspektur berubah,
 yaitu produsen sebagai otoritas dan penanggung jawab atas keamanan
  pangan produknya melalui penerapan sistem keamanan pangan (audit
 internal Good Manufacturing Practices-GMP/Hazard Analysis Critical
  Control Points-HACCP dan pemenuhan sejumlah regulasi), sedangkan
 inspektur sebagai pengawas / pengarah compliance yang ditetapkan
 dengan berbasis ilmu pengetahuan. Manfaat bagi inspektur pangan
 dari sistem ini adalah waktu inspeksi lebih efisien karena tidak harus
 selalu fokus pada hal-hal non-compliance dan pelanggarannya (FAO,
 2008).

       Keberhasilan pengawasan keamanan pangan bergantung pada
 hasil kajian risiko. Salah satu kajian risiko yang sangat dibutuhkan
 Indonesia saat ini adalah Total Diet Study (TDS) yang keluarannya
 dapat digunakan sebagai landasan pengawasan keamanan pangan
 meliputi pembuatan standar, kebijakan pengawasan, komunikasi risiko,
 termasuk untuk kepentingan program gizi dan kesehatan lingkungan.
 Di beberapa negara maju dan sebagian negara berkembang fungsi
 kajian risiko telah terpisah dari fungsi manajemen risiko. Saat ini,
 Indonesia perlu memiliki lembaga pengkaji risiko independen yang
 keluarannya dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan
 pengawasan oleh pihak berwenang.

 b. Teori “Risk Analysis”.

      Codex Alimentarius Commission{CAC) mendefinisikan analisis risiko
sebagai proses yang terdiri dari tiga komponen, yaitu:

     1) Penilaian risiko (Risk Assessment), yaitu proses penilaian risiko
     berbasis ilmiah yang dilakukan dengan empat langkah, yaitu: (a)
     identifikasi bahaya, (b) karakterisasi bahaya, (c) penilaian paparan,
     dan (d) karakterisasi risiko.

     2) Manajemen Risiko (Risk Management), yaitu proses untuk
     menentukan kebijakan alternatif, dengan cara melakukan
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13