Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10

62

 21. Penanganan Kejahatan internasional (pelanggaran HAM) dalam
         Menghadapi MPI yang Diharapkan
        Penanganan kejahatan internasional (pelanggaran HAM) di

 Indonesia, dimulai sejak era reformasi dengan UU HAM dan UU
 Pengadilan HAM. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat beberapa
 kejahatan internasional (pelanggaran HAM) yang telah diperiksa dan
 diadili berdasarkan UU Pengadilan HAM dengan pembentukan
 Pengadilan HAM Ad Hoc, seperti kasus Timor Timur pasca jajak
pendapat, kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura.

        Terhadap pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan putusan-
putusannya muncul respon negatif berupa ketidakpuasan, bahkan muncul
anggapan bahwa pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia,
khususnya dalam kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, merupakan
respon reaktif untuk membendung inisiatif pembentukan ICC yang bersifat
Ad Hoc.46 Kondisi demikian berkaitan dengan berbagai kelemahan
kebijakan formulatif hukum pidana dalam UU Pengadilan HAM yang
selanjutnya memberikan kelemahan pada penerapan hukum (UU)
inconcreto. Selain itu, akuntabilitas kinerja Pengadilan HAM dipandang
masih rendah dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana
kejahatan internasional (pelanggaran HAM).

       a. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam UU Pengadilan
              HAM yang Diharapkan
              Dalam keseluruhan proses fungsionalisasi hukum pidana,

       tahap kebijakan formulatif (perumusan) hukum pidana sebagai
       pembaharuan hukum pidana {penal reform) merupakan tahap awal
      dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam

         46 Berbeda dengan Statuta ICC yang menganut prinsip non-retroaktif,              UU
Pengadilan HAM memuat prinsip retroaktif. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM
disebutkan:”Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”. Selanjutnya
dalam Pasal 44 disebutkan: “Pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc dan upaya
hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Sedangkan
dalam Statuta ICC, pada Pasal 11 (1) di bawah judul Jurisdiction ratione temporis
disebutkan: “The Court has jurisdicditon only with respect to crimes committed after the
entry into force of this Statute”.
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15