Page 12 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 12
64
kebijakan formulatif ini.49 Adanya keterkaitan antara ketiga tahap
tersebut terhadap efektivitas fungsionalisasi hukum pidana, juga
terlihat dari pernyataan G. Peter Hoefnagels: / agree with the view
that effectiveness is a prerequisite for lawfulness and even an
element to be taken into account in sentencing, effectiveness alone
is no guarantee of justice. Punishment in criminal law is limited not
only by effectiveness and purposefulness, but above all by legality.50
Dilihat dari sudut proses, maka urgensi kebijakan formulatif
hukum pidana menunjukkan bahwa proses perencanaan atau
kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan tidaklah mudah. Apabila kebijakan
formulatif tersebut tidak hanya diartikan sebagai apa yang dikerjakan
oleh pembuat undang-undang, akan tetapi lebih merupakan
bagaimana prcses hasil-hasil (undang-undang) itu dibuat atau
diformulasikan.
Kondisi di atas, menunjukkan bahwa kebijakan formulatif
sebenarnya menyangkut banyak aspek yang luas dan rumit, karena
kebijakan formulatif hukum pidana tidak hanya dimaksudkan untuk
menanggulangi kejahatan dalam jangka pendek, melainkan juga
akan digunakan untuk menanggulangi kejahatan dan
perkembangannya untuk jangka waktu yang relatif panjang.
Kesalahan dalam melihat dan mengidentifikasi substansi masalah
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, akan
berakibat terhadap salahnya perumusan permasalahan tersebut, dan
pada gilirannya dapat berakibat pada tahap kebijakan aplikatif dan
eksekutif.
Berdasarkan ketentuan hukum dalam UU Pengadilan HAM,
kebijakan formulatif hukum pidana yang ditempuh dalam UU
49 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
AlumnL 1992, him. 158-159.
60 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, Holland: Kluwer Deventer,
1969, him. 139.