Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
73
hal yang dikehendaki oleh hukum pidana dengan manfaat yang
dibutuhkan atau diterima oleh masyarakat. Apabila tidak teliti dan
tidak hati-hati, maka pembaharuan hukum pidana {penal reform)
malah menimbulkan efek terbalik dari tujuan yang sebetulnya
dikehendaki. Bahkan dalam situasi “ekstrim”, dapat dikatakan bahwa
undang-undang bersifat kriminogen dan sekaligus viktimogen.
Dalam salah satu laporan Kongres PBB keenam mengenai The
Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, ditegaskan
bahwa diskrepansi yang terlalu besar antara undang-undang dengan
kenyataan (termasuk praktik yang sudah berlangsung) dan
kebutuhan masyarakat itulah yang dapat menyebabkan undang-
undang itu "disfungsional" dan pada akhirnya dapat menjadi faktor
kriminogen. Barda Nawawi Arief juga mengatakan bahwa apabila
kepentinga’n perlindungan terhadap korban kurang mendapat
perhatian yang sewajarnya dalam kebijakan kriminalisasi dan
dekriminalisasi, maka hal demikian dapat merupakan faktor
kriminogen dan sekaligus viktimogen. Kemungkinan lainnya adalah
apabila pengalokasian wewenang atau kekuasaan pejabat penegak
hukum oleh undang-undang disalahgunakan atau diterapkan tidak
pada tempatnya, maka wajar dapat menjadi faktor kriminogen
sekaligus viktimogen.58
Berbagai kelemahan pada proses dalam sistem kebijakan
formulatif di atas mempunyai dampak praktis yang jauh terhadap
fungsionalisasi hukum pidana tahap berikutnya, yaitu kebijakan
aplikatif dan eksekutif, karena sebagaimana telah dik.emukakan,
kebijakan aplikatif dan eksekutif merupakan tahap-tahap yang
mengikuti dan hanya dapat dilaksanakan jika kebijakan formulatif
telah diselesaikan. Untuk menghindari dampak negatif dan
kelemahan yang muncul pada proses dalam sistem kebijakan
formulatif, maka pembaharuan dalam UU Pengadilan HAM
58Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, him. 202-204.