Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10
78
internasional (pelanggaran HAM), dimana menurut Statuta ICC,
lembaga penyidikan dan penuntutan tidak dipisahkan dan
dilaksanakan oleh prosekutor. Prosekutor (in pro prio motu)
melakukan penyidikan berdasarkan informasi dari: negara anggota,
Dewan Keamanan PBB dan atas temuan sendiri (ex officio). Dewan
Keamanan PBB dapat meminta kepada ICC untuk mengadili
kejahatan internasional (pelanggaran HAM) yang terjadi di suatu
negara, meskipun negara tersebut belum menjadi negara pihak
(state party). Penanganan kejahatan internasional (pelanggaran
HAM) demikian telah ditempuh dalam kasus Omar Hassan al-Bashir
(Sudan), Thomas Lubanga (Kongo) atau Muammar Qaddafi (Libya).
Berbagai ketentuan dalam Statuta ICC dan pandangan yang
berkembang61 juga menguat pendapat bahwa penerapan Statuta
ICC sesungguhnya hanya secara relatif lebih efektif terhadap negara
peratifikasi dibandingkan negara non-peratifikasi Statuta ICC,
dengan beberapa alasan atau pertimbangan hukum berdasarkan
Statuta ICC:
1) Dalam Pasal 120 Statuta ICC di bawah judul Reservations,
disebutkan: “A/o reservations may be made to this Statute”.
Dengan demikian, negara peratifikasi tidak dapat mengajukan
reservasi (non-reserved convention), sehingga setiap negara
peratifikasi wajib (mandatory obligation) melaksanakan seluruh
ketentuan dalam Statuta ICC. Kewajiban atas Statuta ICC tidak
dapat ditolak atau dihindari dengan alasan bahwa ketentuan
ICC bertentangan dengan sistem hukum nasional negara
peratifikasi.
2) Dalam Pasal 17 Statuta ICC di bawah judul Issues o f
Admissibility, sebagaimana dikemukakan di atas, ICC memiliki
kewenangan untuk menentukan apakah negara peratifikasi
61 Romli Atmasasmita, Apakah Indonesia Perlu Meratifikasi Statuta ICC?, Makalah
disampaikan pada Diskusi di Menko Polhukam RI, Jakarta, 2007, him. 12.