Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10

40

  Produsen Oleokimia Indonesia (APOLIN) dan Asosiasi Produk Biofuel
  (APROBI). Sebab, perdagangan ekspor hilir seringkali menemui hambatan di
  dalam negeri semisal rintangan dari Bea Cukai yang belum familiar dengan
  produk Hilir Sawit (HS). Di lapangan, Bea Cukai ini melihat HS setelah itu baru
  melihat produknya (kelapa sawit).

          Sementara di sisi lain, masih ada sejumlah pihak yang berkepentingan
 dan bahkan berseberangan dalam pengelolaan SKA kelapa sawit. Pihak
 pengusaha sebagai operator cenderung akan berorientasi profit, menekan
 margin kerugian dan mengurangi berbagai cost selama proses pengelolaan
 berlangsung. Sementara elemen civil society terus mendesak agar skema
 perizinan, alih-fungsi dan pembukaan lahan, serta mekanisme rehabilitasi
 lahan dievaluasi agar tidak merugikan komunitas setempat dan mencemari
 lingkungan. Di saat yang bersamaan, cukup banyak pula elemen masyarakat
 dari unsur petani plasma yang membuka lahan tanpa peduli dengan prinsip
 pelestarian lingkungan, atau malah berkonflik dengan pihak perusahaan yang
 melanggar hak ulayat tanah adat mereka saat membuka lahan untuk
perkebunan kelapa sawit.

         •Persoalan ego sektoral juga tercermin dari terjadinya sengketa lahan
antara perusahaan sawit dan masyarakat. Pemberian izin HGU untuk lokasi
Perkebunan Kelapa Sawit tidak memperhatikan situasi lapangan, sehingga
disamping sering tumpah tindih dengan areal pengelolaan kehutanan dan
pertambangan, juga tumpang tindih dengan Hak Atas Tanah Adat Masyarakat
Adat (bahkan ada yang masuk ke desa/kampung). Akibatnya sering terjadi
sengketa dengan masyarakat dan sengketa lahan antara perusahaan.
Seperti diberitakan di berbagai media, terutama media lokal, pada waktu
proses pembukaan lahan untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik
antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat. Misalnya alasan
masyarakat Sembuluh yang menolak hadirnya perkebunan sawit karena
perusahaan perkebunan sawit dianggap akan mengambil alih lahan mereka,
yang berarti akan menutup sumber penghidupan mereka. Selain itu,
masyarakat tidak menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan yang
menyerobot lahan milik mereka secara langsung tanpa membicarakannya
terlebih dahulu penyelesaian ganti rugi.
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15