Page 5 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 5
35
4) Lemahnya Koordinasi Penyidik Polri dengan Kejaksaan
dalam hal ini Jaksa Peneliti/ Penuntut Umum dalam mengungkap
kasus Tindak Pidana Korupsi, sehingga terjadi bolak baliknya berkas
perkara karena syarat formil dan materiil belum lengkap.
b. Partisipasi masyarakat terhadap pencegahan tindak pidana
korupsi.
Indikasinya/ faktanya; Saat ini, masyarakat sudah demikian
skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha pemberantasan
kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah namun demikian
juga ada peran masyarakat yang positif terhadap pemberantasan
korupsi. Peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi mulai terdengar gaungnya pada era reformasi dan
yang kemudian diatur dalam PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Terminologi peran serta atau partisipasi masyarakat
termasuk LSM dalam hal ini harus dimulai dari mengenali masalah,
merencanakan kegiatan dan melaksanakan kegiatan. Bentuk konkrit
peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi sangat besar pengaruhnya dan dapat menjadi
kekuatan besar untuk mengawal proses penegakan hukum perkara
korupsi. Suara masyarakat seolah telah menjadi kekuatan
besar/peop/e power tersebut terlihat ketika terjadi kasus rivalitas
Polri dengan KPK jilid I yang dikenal dengan kasus cicak vs buaya,
dan kasus rivalitas Polri dengan KPK jilid II yang dikenal dengan
rebutan kasus Simulator Korlantas, peran serta masyarakat menjadi
yang paling menentukan arah kebijakan pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang seolah-olah apabila tidak diikuti keinginannya
akan berakhir dengan chaos/ancaman aksi anarkis. Belum
terwujudnya kesadaran hukum/ budaya anti korupsi (sense of
awareness, sense o f need, sense of part o f life) di Masyarakat.
Belum terwujudnya budaya malu dalam dinamika kehidupan