Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8

104

                   Pertama, Itikad. Institusi pendidikan vokasional itu sendiri
         harus memiliki kejujuran dan kepatutan56 untuk berubah. Ada
         kemauan yang keras untuk menyingkirkan segala aspek yang
         mengandung atau berpotensi memunculkan tindak kekerasan dalam
         proses belajar-mengajar, karena paradigma kehidupan sudah
         berubah dan dan kita sudah mengetahui— hingga secara ilmiah—
         bahwa tradisi kekerasan tidak ada gunanya dan bahkan merugikan.
         Untuk itu dibutuhkan strategi dan penerapan komunikasi yang baik.

                   Kedua, menyamakan persepsi. Harus dibangun upaya untuk
         menyamakan pandangan. Penyamaan persepsi ini harus dimulai
         dari proses perumusan pendidikan karakter yang akan diterapkan di
         sekolah vokasional dan silabus yang terstruktur. Penyebutan mata
         ajar “Pendidikan Karakter”, misalnya, harus dielaborasi kata per kata
         dan diberikan pengertian setepat-tepatnya, hingga siapa pun dapat
         memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan; serta dapat
         mengetahui tahapan-tahapan yang harus dicapai melalui silabus
         yang terstruktur Para siswa pun dapat mempersepsikan diri dalam
         kaitannya dengan mala ajar tersebut dan dengan mata pelajaran
         yang lain. Hingga terbangunlah pendidikan karakter yang
         komprehensif dan menyeluruh.

                   Ketiga, Konsistensi. Konsep pendidikan karakter harus
         mengandung konsistensi57, baik secara prinsip maupun realisasinya.

56 Kejujuran dan kepatutan adalah dua makna yang terkandung dalam istilah ‘itikad’.
Kejujuran adalah itikad (baik) dalam pengertian subyektif (merupakan sikap batin atau
keadaan jiwa), sedangkan kepatutan merupakan itikad dalam pengertian obyektif. Salah
satu teks yang bagus mengenai itikad adalah naskah pidato peengukuhan Prof. DR. Siti
Ismijati Jenie, SH CN sebagai guru besar Fak. Hukum Univ. Gajahmada, Yogyakarta, 10
September 2007. Prof Siti Ismijati mengatakan, itikad (dalam melakukan atau tidak
melakukan sesuatu) sesungguhnya mengandung konsekuensi hukum. Itikad baik yang
adalah kejujuran, termaktub dalam pasal 530 KUHP dan seterusnya yang mengatur
mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Sedangkan itikad sebagai kepatutan, terrumuskan
dalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi, itikad tidak sepenuhnya bebas dari konsekuensi
hukum, lebih-lebih bila berkaitan dengan kepentingan formal suatu institusi.

57 Konsistensi (dari bahasa Latin perceptio, percipio) adalah tindakan menyusun,
mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memeberikan gambaran dan
pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem saraf. yang
merupakan hasil dari stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra. Seperti misalnya
penglihatan yang merupakan cahaya yang mengenai retina pada mata, pencium yang
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13