Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
29
penataan pada tiga institusi tersebut. Hal ini harus dipahami utuh
oleh pemerintah, DPR dan kalangan Organisasi masyarakat terkait
dengan pembahasan RUU Peradilan Militer. Dalam pengertian
bahwa memindahkan pengadilan seorang anggota TNI yang terkait
pidana umum dari peradilan militer ke peradilan umum tidak
semudah membalikkan tangan. Selain harus ada revisi beberapa
undang-undang terkait seperti UU No 39 Tahun 1947 tentang KUHP
Militer, UU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP, UU No 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, dan UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, juga membutuhkan waktu setidaknya dua hingga tiga
tahun untuk mensosialisasikannya pada internal setidaknya empat
lembaga sebelum RUU Peradilan Militer diundangkan, yakni: internal
TNI sendiri, Kejaksaan Agung, Polri, dan Mahkamah Agung.
Sosialisasi tersebut meliputi operasionalisasi peradilan umum bagi
anggota TNI dan kemungkinan ekses yang akan mengikutinya.
Dewasa ini bila kita teliti lebih jauh dalam sistem
ketatanegaraan maka terdapat dualisme dari pada Undang-undang
yang mengatur proses penegakan hukum Terhadap pelaku tindak
pidana seorang prajurit TNI. Dualisme tersebut tampak dari
kewenangan mengadili antara peradilan militer dan peradilan umum.
Tidak sebatas itu saja, kewenangan dalam penyidikan juga sudah
berbeda, dimana bila kita lihat dalam sistem tatanan hukum di militer
terdapat pengecualian, yakni undang-undang pidana militer yang
diatur secara sendirinya dan lepas dari ketentuan hukum pidana
yang berlaku bagi sipil. Bukankah hal ini sudah menimbulkan
pertentangan sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945
menentukan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan ketentuan ini
merupakan landasan konstitusional sekaligus arah bagi pengaturan

