Page 14 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 14

sendiri. Zuhairi (2008) menyatakan persoalan anti toleransi dan anti
 pluralisme yang semakin menguat tidak hanya dipengaruhi oleh
 iman dan kitab suci, tetapi banyak dipengaruhi berbagai faktor riil,
 seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam kondisi realitas
 yang berkembang saat ini, kesadaran untuk hidup dalam
 keBhinnekaan, dalam lingkungan yang plural seperti Indonesia ini
masih belum optimal dipahami baik oleh penyelenggara
pemerintahan di daerah maupun oleh masyarakatnya, hal ini
mengindikasikan bahwa pemahaman terhadap nilai sesanti
Bhinneka Tunggal Ika yang intinya memuat nilai toleransi, nilai
keadilan dan nilai kerjasama masih belum dipahami secara optimal
dalam pelaksanaan otonomi daerah.

b. Sikap E lit Politik
          Elit Politik yang menjadi unsur penyelenggara pemerintahan

daerah adalah DPRD. Dalam mewujudkan kemandirian daerah
sebagian elit politik di daerah sering menjadikan kemampuan daerah
dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai tolok
ukur keberhasilan melaksanakan otonomi daerah. PAD juga menjadi
cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di
daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas
pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber
penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat oleh elit politik
sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan
dalam pelaksanaan otonomi. Padahal dengan menyikapi
pelaksanaan otonomi daerah seperti ini, dapat menimbulkan ego
kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD untuk
kepentingan daerahnya, meninggalkan nilai-nilai gotong royong dan
nilai toleransi terhadap daerah sekitarnya. Pelimpahan kewenangan
dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan
kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk

                                              28
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18