Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10
52
tersebut. Dengan sendirinya persoalan aspirasi pemisahan diri yang bersumber
pada perbedaan persepsi legalitas PEPERA tidak dapat diselesaikan melalui
pemberian Otonomi Khusus. Namun demikian Penjelasan Undang-undang tersebut
mengemukakan bahwa Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur.
Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi
Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya
kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM,
pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat
mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah
tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat
Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan. Dengan
demikian Otonomi Khusus dipercaya sebagai langkah awal yang positif untuk
menyelesaikan masalah tersebut, setidaknya untuk membangun kepercayaan
masyarakat Papua terhadap Pemerintah.
Secara materi, Kekhususan itu dapat dilihat secara jelas dari titik berat
otonomi pada tingkat provinsi, berbeda dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
meletakkan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Hal ini sesungguhnya
merupakan pengakuan bahwa masyarakat Papua adalah satu kesatuan sosial,
sedangkan kabupaten atau kota seharusnya hanya dilihat sebagai pembagian
administratif atau kewilayahan saja.
Selain itu, kekhususan otonomi di Papua sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun
2001 dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, adanya institusi representasi kultural orang
asli Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP), yang memiliki wewenang tertentu
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama.

