Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11

53

         Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup
dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedudukan
lembaga MRP tidak dijumpai di daerah lain, di mana dari sisi wewenang yang dimiliki
dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dalam struktur parlemen bikameral
(sebagai majelis tinggi). Sebagai representasi masyarakat Papua, Majelis Rakyat
Papua memiliki wewenang yang besar, baik di dalam pembentukan pemerintahan
maupun penyelenggaraan pemerintahan. MRP inilah yang akan menentukan bentuk
konkrit kekhususan pemerintahan Papua. Kedua, adanya pengaturan yang bersifat
khusus terkait dengan pendapatan daerah untuk Papua. Kekhususan Papua adalah
pada besaran dana bagi hasil untuk sumberdaya alam di sektor pertambangan
minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Prosentase
ini lebih besar dari prosentase yang diatur untuk daerah lain, di mana bagi hasil
pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan untuk gas alam
30,05%. Selain itu, terdapat “Penerimaan Khusus” dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum
Nasional. Ketiga, diakuinya eksistensi kultural melalui penggunaann simbol-simbol
khusus yang merepresentasikan eksistensi Papua, penamaan lembaga, serta
penamaan aturan yang juga bersifat khusus.

         Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan solusi yang bersifat
mendasar dan terbaik saat ini untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat
Papua serta dalam rangka mengejar ketertinggalan Papua dari provinsi lain di
Indonesia. Karena itu pelaksanaannya perlu di revitalisasi, dan bila diperlukan
dilakukan perubahan sesuai ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001 tersebut agar dapat mengakomodasi kepentingan yang diharapkan orang asli
Papua.

         Selain itu perlu Optimalisasi pelaksanaan Otonomi khusus Papua setidaknya
pada 3 (tiga) hal;

Pertama, pelaksanaan otonomi khusus harus diimbangi upaya penyelesaian konflik
politik secara damai. Hal ini agar tidak mengakibatkan “politisasi” pelaksanaan
otonomi khusus baik oleh pemerintah pusat maupun oleh kelompok-kelompok dalam
masyarakat Papua. Otonomi khusus bergeser menjadi isu-isu politik, bukan program
nyata untuk meningkatkan taraf hidup dan penghargaan hak dasar masyarakat
Papua sesuai dengan latar belakang kebijakan otonomi khusus itu sendiri.
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16