Page 6 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 6
-34-
Aceh. Masalahnya Pemerintah Pusat sampai sekarang masih menunda
memberikan persetujuannya. H a l yang sama juga terjadi dengan Qanun
Lambang dan Bendera Aceh yang disetujui DPR Aceh pada bulan Maret 2013.
Adanya Qanun Wali Nanggroe ini sebenarnya adalah penjabaran dari
Undang-undang Nasional Indonesia, yakni Undang-undang No. 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal 96 Undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa:
Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-
lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-
upacara adat lainnya. Lembaga Wali Nanggroe dimaksud, bukan
merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh, dan
dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan
independen. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata
cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler,
keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur
dengan Qanun Aceh.
Dalam pasal 96 Undang-undang No. 11 tahun 2006 di atas jelas
disebutkan bahwa Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat dan hanya
memiliki kewenangan untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, bukan merupakan lembaga politik dan
lembaga pemerintahan di Aceh. Namun kenyataannya Qanun Wali Nanggroe
yang dibuat dan disahkan DPR Aceh dengan segera dengan mengumumksn
pada Lembaran Daerah dan memberi No. 8 tahun 2012, memuat banyak hal
yang kontroversial, yang membuat pemerintah pusat sampai tulisan ini dibuat
(Agustus 2014) belum memberikan persetujuannya. Hal-hal yang dapat dinilai
bersifat kontroversial tersebut, sejak dari tujuan, struktur kelembagaan,
sampai pada sebutan dan hak imunitas Wali Nanggroe (lihat uraian pasal 13
berikut), berpotensi membawa pada disintegrasi nasional dan dapat
mengancam ketahanan nasional Indonesia.

