Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
67
politik penyelenggara negara. Hal ini disebabkan karena
meningkatnya kasus pelanggaran pidana, etika dan susila yang
melibatkan oknum penyelenggara negara pada sejumlah
lembaga. Oleh karena itu, penyusunan kode etik bagi
penyelenggara negara diharapkan menjadi rambu-rambu dalam
melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing. Selain itu, kode
etik ini juga akan menjadi alat pengendali yang efektif dari
perilaku menyimpang para penyelenggara negara, sehingga
harus benar-benar diterapkan secara tegas dan sistematis.
5) DPR bersama Kemenko Polhukam, Kemenkumham,
Kemendagri dan K P U berkoordinasi untuk mempertegas
rumusan regulasi yang mempersyaratkan alokasi minimal 6 0 %
keuangan yang diterima dari pemerintah untuk kegiatan
pendidikan politik. Regulasi yang secara spesifik mengatur
tentang signifikansi pendidikan politik akan menjadi landasan
hukum yang mengikat bagi partai politik untuk membenahi
sistem pendidikan politik di internal masing-masing partai.
Ketegasan ini merupakan ‘ v(ujud kongkrit keberpihakan
penyelenggara negara terhadap peningkatan pendidikan politik,
yang tentunya harus dikomunikasikan dengan seluruh partai
politik.
6 ) Kalangan civil society mulai dari akademisi, media massa,
L S M dan gerakan mahasiswa meningkatkan pengawasan
terhadap sikap moral dan etika penyelenggara negara, sehingga
pendidikan politik yang diperoleh dapat berkorelasi positif
dengan perilaku sehari-hari. Hal ini penting ditingkatkan agar
para penyelenggara negara memiliki rasa malu, rasa empati dan
komitmen integritas dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dem i mengoptimalkan proses komunikasi politik di era
demokrasi. Institusi pengawas yang juga merupakan aktor
penyelenggara negara seringkali menghadapi konflik
kepentingan (conflict o f interest) dalam pelaksanaan tugasnya,

