Page 7 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 7
35
Sementara di awal reformasi (juga hingga kini), untuk membangun
semangat persatuan dan kebangsaan dimasyarakatkan tentang konsep
pluralisme yang dimaknai sebagai kemajemukan dalam mengelola hidup
sebagai bangsa Indonesia. Padahal dari beberapa tulisan tentang
pluralisme dijelaskan bahwa konsep pluralisme memandang setiap orang
punya identitas budaya. Identitas budaya tersebut hanya ada dalam diri
masing-masing individu. Identitas tersebut bila berinteraksi dengan
identitas lain haruslah menjadi netral. Itulah keadaan ideal dalam
pluralisme. Sebuah identitas bisa ditawar dan bisa dilebur untuk
mengantisipasi perbedaan identitas yang mengganggu individu lain.
Artinya identitas individual harus direduksi ketika bertemu dengan
identitas individu lainnya.
Upaya memaknai suatu perbedaan dalam masyarakat multikultural
yang akan dibawa sesuai nilai-nilai moral dalam Pancasila, sering
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai baru masa pemerintahan di era
reformasi. Bahkan dalam tingkat tertentu usaha tersebut dinilai sebagai
bentuk pengembalian kekuasaan Orde Baru. Hal ini menimbulkan
kevakuman dalam memaknai perbedaan yang membuat rancu dalam
implementasi masyarakat yang multikultural. Akibatnya dalam pergaulan
antarwarga mudah terjadi polarisasi antar komunitas yang berbeda.
Sikap pemerintah dan masyarakat memaknai multikultural sebagai
masyarakat majemuk (plural society) yang dikemas dalam semangat
persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya potensi dan hak individu
sering dipinggirkan, sehingga terdapat hubungan antar masyarakat
dengan varian budaya yang tidak simetris hadir dalam bentuk dominasi
dan hegemoni. Apabila pemaknaan nilai-nilai multikultural tidak dapat
diimplementasikan secara benar, maka dapat mengakibatkan terjadinya
pertikaian antarkelompok yang dapat memicu terjadinya konflik maupun
disintegrasi bangsa yang mengancam kondisi ketahanan nasional yang
dapat mengganggu tercapainya cita-cita dan tujuan nasional.

