Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8
36
b. Masih kuatnya Sentralisme kekuasaan dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan :
Sejak era pemerintah orde baru, pemerintah selama ini memegang
peran sentral dalam memonopoli kebenaran dalam urusan kenegaraan.
Akibatnya potensi-potensi masyarakat belum diberdayakan secara
optimal, terutama timbul polarisasi potensi masyarakat antara yang
mendukung dan berseberangan dengan pemerintah baik dari unsur-
unsur akademisi, praktisi, media massa maupun tokoh masyarakat.
Menurut Syamsuddin Haris29, Indonesia pasca-Soeharto masih mewarisi
kultur tata kelola politik, ekonomi, pemerintahan, dan negara yang belum
berorientasi pada cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat. Cita-cita luhur tentang bangunan Indonesia yang bersatu dan
sejahtera dalam kemajemukan hanya tinggal jargon.
Akibat pelaksanaan otonomi daerah, posisi pemerintah daerah jauh
berbeda dan lebih kuat daripada masa Orde Baru, saat itu pemerintah
daerah disebut Pemda Tingkat I dan Tingkat II, hanyalah agen
pemerintah pusat tanpa kewenangan untuk mengatur kebijakan tentang
hal-hal yang menyangkut kepentingannya sendiri. Sementara lebih tegas
lagi menurut Choirui Mahfud,30 banyak pihak yang meyakini bahwa akar
konflik di Kalbar dan Kalteng adalah imbas dari strategi pembangunan
masa Orde Baru yang sangat sentralistik dan memarjinalkan suku asli.
Di masa orde baru, ada upaya untuk memaksakan penyeragaman
dengan alasan untuk kepentingan persatuan. Kecenderungan yang
sudah berjalan sekitar 32 tahun tersebut tentu menjadi corak kehidupan
sosio-kultural masyarakat. Sentralisme kekuasaan pemerintah Orde Baru
mengakibatkan terhambatnya perkembangan daerah karena hanya jadi
‘obyek’ pemerintah pusat yang melahirkan ketidakpuasan daerah.
29Syamsuddin Haris.. Masalah-masalah Demokrasi dan kebangsaan Era reformasi. Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. 2014.
30Choirui Mahfud. Op Cit. Halaman 140.

