Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
79
sesungguhnya tidak hanya dilatarbelakangi sebagai turunan dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial. Namun lebih jauh dari itu, Inpres ini memberikan
penegasan bahwa serangkaian agenda politik Pemerintah
Indonesia dinilai telah gagal untuk menyediakan kebutuhan
dasar, yakni perlindungan hak-hak fundamental warga negara
Indonesia.
Pendekatan keamanan yang selalu dijadikan tulang
punggung untuk menyokong agenda reformasi Indonesia adalah
sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan lagi. Konflik
pertanahan dan sumber daya alam, kekerasan berbasis
minoritas, kriminalitas yang dialami pegiat lingkungan hidup,
HAM, anti korupsi, dan jurnalis, bahkan hak-hak dasar warga
negara untuk berkumpul dan mengekspresikan aspirasi sosial
politiknya secara damai, selalu disederhanakan dengan model
respons negara yang mengedepankan keamanan semata.
Pada tataran ini supremasi sipil seharusnya menjadi corak
utama agenda Pemerintah Indonesia pasca 1998. Idealnya
supremasi sipil mampu mendorong tata kelola demokrasi, diikuti
dengan penguatan ruang penegakan dan perlindungan hukum,
adanya jaminan pemerataan keadilan sosial yang
mengedepankan pelayanan publik, pemberantasan korupsi, dan
pemenuhan hak-hak sipil dan lain sebagainya. Namun tujuan-
tujuan ini nampaknya akan sulit untuk diwujudkan apabila
Pemerintah Pusat masih tetap konsisten menggunakan cara-
cara eksesif untuk mencapai tujuan pembangunan nasional itu
sendiri.
Pada tanggal 28 Januari 2013 Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), telah menandatangani Instruksi Presiden
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Kemanan
Dalam Negeri Tahun 2013. Inpres ini ditujukan kepada Menko
Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kesra, Mendagri,
Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BPN, Kepala BIN,

