Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11

79

           tidak memiliki keinginan (unwilling) atau tidak memiliki
           kemampuan (unable) untuk atau dalam melaksanakan
           peradilan atas pelanggaran HAM yang berat secara mandiri
           dan bebas dari tekanan atau pengaruh apapun.
    3) Dalam Pasal 20 (3) Statuta ICC, ICC berwenang untuk
           memeriksa dan memutus perkara kejahatan internasional
           (pelanggaran HAM) yang telah diputus oleh pengadilan
           nasional yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
    4) Dalam Pasal 16 Statuta ICC, disebutkan: Statuta ICC secara
           eksplisit menganut prinsip non-retroaktif, akan tetapi prinsip
           retroaktif telah diterapkan dalam praktik penerapan yurisdiksi
           kriminal ICC, seperti pada pembentukan beberapa ICC Ad Hoc
           yang pernah ada dan berlangsung dalam memeriksa dan
            mengadili pelanggaran HAM, seperti ICC Ad Hoc Nuremberg,
            Tokyo, Yugoslavia, dan Rwanda.
            Ratifikasi suatu perjanjian internasional, seperti Statuta ICC,
     sesungguhnya juga masih menimbulkan persoalan efektivikasinya
     dalam kerangka pencegahan dan penyelesaian kasus-kasus
     pelanggaran HAM di Indonesia. Peraturan perundang-undangan
     Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
     tentang Perjanjian Internasional belum mengatur secara tegas
     tentang status hukum dan penerapan perjanjian internasional dalam
     sistem hukum nasional.

             Praktik di negara lain menunjukkan bahwa kejelasan status
      hukum dari suatu perjanjian internasional sangat penting dan
      berpengaruh terhadap penerapannya, karena terdapat kejelasan
      mengenai kekuatan hukum atau kekuatan mengikatnya dalam sistem
      hukum nasional.62

       62 Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan
Ratifikasi, Bandung: P.T. Alumni, 2011, him. 276, dan 306-307.
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16