Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11
37
TABEL VI. ANALISIS PERBEDAAN BANK, RENTENIR DAN BMT
Pokok Bank Konvensional Renternir BMT
Masalah
Yang Dibiayai Pengusaha besar, PengusaJia kecil, menengah Pengusaha kecil dan sangat
Jasa Pinjaman menengah dan kecil atas dan bawah kecil (mikro)
Jaminan Bunga Bunga mencekik Bagi hasil
Penentuan Ada jaminan Secara formal tidak ada Tidak adajaminan
Keuntungan jaminan
Ditetapkan pada waktu Ditetapkan pada waktu akad Waktu akad hanya
Besarnya akad pinjaman, sebelum pinjaman, sebelum memulai menyepakati pembagian
Keuntungan memulai usaha, usalia, beerdasarkan pada Porsi (nisbah) bagi hasil,
Kerugian berdasarkan prestasi pokok pinjaman sedangjumlah keuntungan
pada pokok pinjaman diketahui setelah berusaha
Pelayanan Sudah pasti danjelas Sudah pasti danjelas jumlah Belum pasti, tergantung
jumlah rupiahnya rupiahnya keuntungan usaha
Bank tidak akan rugi Rentenir tidak akan merugi, Bila usaha merugi, BMT
karena adajaminan, walaupun tidak adajaminan, ikut menanggung kerugian
walaupun usaha merugi, rentenir dapat menyita
bank dapat menyita barang berharga milik Bersahabat dan penuh
jaminan pengusaha tenggang rasa
Formal dan resma Ramah tapi tidak toleran Sederhana dengan beberapa
formulir yang sederhana
Prosedur Panjang dan asing, Gampang dan mudah tanpa
formulir yang bermacam- BMT bersama pengusaha
sesuai aturan dan macam membuat kelayakan usaha
Tidak perlu kelayakan usaha bersama
kebiasaan Ada
Tidak ada
Kelayakan Harus ada kelayakan Anggota/ Masyarakat
Pribadi
Usaha usaha yang dibuat oleh
pengusaha
Pembinaan Hampir tidakjelas
Pengusaha
Pemilik Pemegang saham
Sumber: Marhazi (2007)
(L Perkembangan B M T di Indonesia
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) selama sepuluh
tahun ini tercatat paling menonjol dalam dinamika keuangan syariah di
Indonesia.Berbagai LKMS tersebut lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan
sebutan B aitulM aal wat Tamwil (BMT).
BMT pada umumnya memiliki dua latar belakang pendirian dan kegiatan
yang hampir sama kuatnya, yakni sebagai lembaga keuangan mikro dan sebagai
lembaga keuangan syariah. Identifikasi yang demikian sudah tampak pada
beberapa BMT perintis, yang beroperasi pada akhir tahun 1980-an sampai dengan
pertengahan tahun 1990-an. Mereka memang belum diketahui secara luas oleh
masyarakat, serta masih melayani kelompok masyarakat yang relatif homogen
dengan cakupan geografis yang amat terbatas. Perkembangan pesat dimulai sejak
tahun 1995, dan beroleh “momentum” tambahan akibat krisis ekonomi 1997/1998.