Page 12 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 12
30
Upaya mediasi selalu gagal karena kelompok yang
mengatasnamakan agama melakukan upaya paksa, sementara
jemaat Ahmadiyah juga merasa memiliki hak asasi. Sehingga
pemerintah seolah berada di tengah-tengah namun sulit berbuat
banyak karena berbagai keterbatasan seperti: personil, sarana
prasarana, dan bisa jadi juga karena kurangnya kewibawaan,
kesiapsiagaan dan ketegasan aparat. Manajemen konflik yang
efektif harus dimulai dari proses perencanaan, yang tentu saja harus
mengedepankan proses pemantauan, deteksi dini, serta identifikasi
dan pemetaan (mapping) masalah, agar aparat memiliki gambaran
prediksi dan langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi setiap
kemungkinan konflik yang akan terjadi. Namun jika melihat
fenomena kekerasan yang selalu berulang di masyarakat, seperti:
konflik antar-kelompok pendukung kandidat pasca-pilkada, tawuran
mahasiswa di Makassar, perang suku di Papua dan tawuran antar
warga di Jakarta Pusat, maka jelaslah bahwa banyak hal yang perlu
diperbaiki dari manajemen konflik pemerintah dalam menangani
kekerasan komunal di masyarakat.
b. Kurang optimalnya penegakan hukum dalam
penanggulangan konflik akibat berbagai TAHG dan
kompleksitas persoalan kebangsaan.
Pemerintah melalui aparat penegak hukum pada hakikatnya
memiliki tugas dan kewajiban untuk melakukan penegakan hukum
dalam menanggulangi berbagai potensi konflik di Indonesia. Namun
kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini yang tengah berada
dalam situasi memprihatinkan telah mengakibatkan perlindungan
aparat terhadap seluruh warga negaranya menjadi kurang optimal.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan dengan tegas
mengevaluasi hal ini dalam sambutannya pada peringatan Hari Pers
Nasional di Kupang sebagai berikut:

