Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11

29

a. Belum optimalnya upaya        pemerintah  dalam
melaksanakan manajemen konflik.

          Intensitas kekerasan semakin meningkat sejak dimulainya era
reformasi pada tahun 1998. Sejak saat itu, berbagai konflik terjadi di
Indonesia yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dan umumnya
melibatkan antar-kelompok masyarakat secara horizontal.
Karakteristik bangsa Indonesia yang sangat heterogen telah menjadi
potensi konflik yang cukup besar karena diabaikannya sikap toleran.
Kasus kekerasan bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi
sudah sering kali mewarnai kehidupan masyarakat kita. Boleh
dikatakan tiada hari tanpa konflik di dalam masyarakat Indonesia
pasca-reformasi. Ada kecenderungan untuk menyelesaikan masalah
dengan cara kekerasan, bukan musyawarah atau dialog.

          Dalam konteks inilah peran pemerintah menjadi sangat
penting, karena negara telah memberikan otoritas dan kewenangan
untuk dapat mengelola dan menyelesaikan konflik tersebut dengan
berbagai macam metode dan pendekatan. Menurut Ross (1993),
manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke
arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan
suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,
atau agresif.

          Selama ini, manajemen konflik yang diterapkan oleh aparat
penegak hukum terkesan lamban dan berlarut-larut, sehingga
eskalasi konflik semakin membesar dan tidak ada upaya untuk
mencari solusi hingga persoalan tuntas. Contoh kasus kekerasan
terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang dan beberapa
daerah lainnya di Indonesia menunjukkan bahwa aparat penegak
hukum belum menerapkan manajemen konflik yang efektrf, karena
kekerasan terjadi di luar batas kemanusiaan di hadapan aparat
keamanan.
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16