Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8
92
mengharuskan kita tidak memahami Pancasila sebagai mitos, tetapi
sebagai nilai yang rasional. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila
dituntut untuk tetap pada jati dirinya ke dalam (segi intrinsik) dan ke
luar (segi ekstrinsik) ke dalam Pancasila harus konsisten, koheren
dan koresponden, ke luar Pancasila harus menjadi penyalur dan
penyaring kepentingan horizontal dan vertikal.66
Konsisten artinya sesuai, harmonis dan memiliki hubungan logis.
Satu sila harus merupakan kesatuan yang padu, misalnya sila ke-1
(Ketuhanan Yang Maha Esa) mempunyai hubugan logis dengan
pasal 29 UUD NRI 1945. Koheren berarti lekat satu dengan yang
lainnya, satu sila harus terkait dengan sila yang lain. Contoh, sila ke-
2 (kemanusiaan yang adil dan beradab) tidak boleh lepas dari sila
ke-1 (Ketuhanan Yang Maha Esa). Koresponden cocoknya praktik
dengan teori, kenyataan dengan ideologi. Contoh seorang Pancasila
tidak boleh menjadi seorang pembunuh karena pembunuhan
berlawanan dengan kemanusiaan (sila ke-2).67
Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dalam berbagai
aspek kehidupan dan kenyataan multikultural yang hadir di sekitar
kita adalah bagian intrinsik yang harus selalu mendorong
berlangsungnya revitalisasi nilai-nilai Pancasila, sekarang kesadaran
dan pengakuan mengenai kemajemukan atau pluralisme tersebut
tetap penting dalam format kebangsaan. Karena bukan saja fakta
dari kemajemukan itu sendiri yang harus disadari tetapi juga
kompleksitas dan konsekuensinya yang harus dijaga bersama.
d. Meningkatnya Penghayatan dan Pengamalan Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Moral Publik Bagi Organisasi
Kemasyarakatan
Pada Bab III dipaparkan bahwa penghayatan dan pengamalan
nilai-nilai Pancasila sebagai moral publik pada sebagian atau
sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi
66 Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, him. 82.
67
Ibid.

