Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10

34

menaruh perhatian pada isu-isu yang berkembang di daerahnya dan
melakukan pembiaran terhadap potensi konflik sosial yang mungkin terjadi,
kesemuanya adalah analisa-analisa yang kurang lebih terlontar
pascakonflik sosial terjadi.

     Kondisi demikian itu tentunya membuat hubungan antar aparatur
pemerintahan termasuk hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah menjadi kurang harmonis. Ketidakamanan di suatu wilayah NKRI,
bukanlah menjadi permasalahan daerah, karena semua mata akan tertuju
kepada siapa yang memimpin negeri ini. Sebagai sebuah Negara
Kesatuan, maka keotonomian daerah yang presidensil tentu bermakna,
bahwa tanggung jawab penyelenggaraan secara hirarki akan bertumpu
pada Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Oleh karenanya
peristiwa konflik sosial yang terjadi di daerah, juga akhirnya menjadi
tanggung jawab Presiden. Para petinggi negara dari Pemerintah Pusat
yang ditugaskan turun tangan untuk menggali dan menyelesaikan konflik
sosial, disatu sisi memperlihatkan kepedulian dan tanggung jawab
Pemerintah Pusat terhadap keamanan di daerah yang bila tidak segera
diredam dikuatirkan akan meluas menjadi konflik yang lebih besar dan
merobek keutuhan NKRI, namun di sisi lain, hal itu juga memperlihatkan
ketidakmampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola konflik sosial.
Dengan berkembangnya suatu konflik menjadi konflik sosial jelas
menunjukkan asumsi tersebut adalah benar, bahwa Pemerintah Daerah
tidak mampu mengelola konflik. Namun dalam kaitan itu Pemerintah Pusat
tentu lebih berorientasi pada penghentian konflik sosial dan pemulihan
pascakonflik dibandingkan dengan pencegahan konflik sosial.

    Undang Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Penanganan Konflik Sosial
yang disahkan dan diberlakukan pada tanggal 12 Mei 2012, memang telah
mengatur tiga fase Penanganan Konflik yaitu serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik
sebelum (pencegahan konflik sosial), pada saat (penghentian konflik
sosial), maupun sesudah terjadi (pemulihan pascakonflik sosial). Akan
tetapi terkait fase yang pertama, Undang Undang tersebut tidak cukup
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15