Page 7 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 7
35
penguasa pemerintahan. Seniman adalah jenius dan kejeniusan mereka
dijadikan alat propaganda bagi pelestarian kekuasaan suatu
pemerintahan.32 Seni dikaitkan dengan propaganda adalah ketika seniman
menyampaikan keberpihakan politiknya dengan cara memilih elemen-
elemen artistik (akting, direkting, musik, tari, dan rupa) yang berguna
menyampaikan keberpihakannya. Pesan politiknya disisipkan seutuhnya ke
dalam struktur artistik dan dilebur ke dalam suatu totalitas estetis. Maka
sebuah karya seni merupakan kemasan ideologis seniman dalam wujud
artistik.33
Perkembangan kemudian di abad ke-21 adalah meningkatnya peran
pemerintah sebagai maesenas atau pelindung kesenian. Kondisi tersebut
dapat dianggap sebagai “nasionalisasi kebudayaan”. Pemerintah
membentuk Dewan Kesenian, Taman Budaya di daerah-daerah
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat dengan memberi hibah
seni bagi kegiatan seniman. Namun jelas bahwa lembaga donor semacam
ini tidak pernah netral. Keberhasilan seniman mendapat sponsor
tergantung dengan gaya kerja pemerintah setempat. Kebijakan pemerintah
hingga saat ini masih menumbuhkan diskriminasi dan ketidak berpihakan
terhadap program Pemberdayaan Seniman Tradisonal. Pemberian bantuan
Pemerintah Daerah terhadap seniman tradisional masih minim dan bahkan
terkadang fasilitas yang berupa dana dan kesempatan berpentas justru
diberikan untuk kalangan pegawai Pemerintah Daerah sendiri. Dengan
32 Arnold Hausser, The Sociology o f Art, trans. By Kenneth J.Northcott, Chicago
and London: The University of Chicago Press, 1982, 217.
33 Peristiwa bentrok ideologis antara seniman LEKRA dan seniman MANIKEBU
tahun 1963, menjelang meletusnya G30S/PKI, adalah bukti nyata bagaimana kesenian
menjadi alat propaganda politik. Dua partai politik saat itu yang sering memanfaatkan seni
pertunjukan sebagai media propaganda adalah PKI dan PNI. Dua partai ini saling
berupaya untuk merebut simpati massa. Adapun pertunjukan yang menjadi perhatian
kedua partai ini adalah Ketoprak dan Ludruk. Ketoprak sangat disukai masyarakat Jawa
yang berbahasa Jawa. Demikian pula Ludruk, khusus di Jawa Timur yang penduduknya
sebagian besar menggunakan dialek bahasa Jawatimuran. PKI mampu menghimpun
kelompok Ketoprak di seluruh Indonesia yang terwadahi dalam sebuah organisasi yang
diberi nama Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1957.
BAKOKSI yang berkantor pusat di Yogyakarta menghimpun 801 kelompok Ketoprak. PKI
juga menggalang sebuah asosiasi Ludruk yang bernama “Lembaga Ludruk” yang
berkantor pusat di Surabaya. R.M. Soedarsono. Seni Pertunjukan Indonesia di Era
Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. 217.