Page 8 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 8
36
Sehubungan dengan protes dan kecaman yang muncul,
yurisdiksi kriminal Pengadilan HAM Ad Hoc selanjutnya diperbaiki
dan diperluas melalui Keppres Nomor 96 Tahun 2001 yang
dikeluarkan Presiden (Megawati Soekarnoputri) pada Agustus 2001.
Karenanya Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur diberikan
wewenang untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi antara April
dan September 1999. Berkaitan tempat, yurisdiksi kriminal
Pengadilan HAM Ad Hoc (jurisdiction of location) lebih lanjut juga
dibatasi mencakup sejumlah lokasi tertentu saja: yaitu hanya untuk
kasus-kasus yang terjadi di 3 dari. 13 distrik di Timor Timur yang
akan diperiksa dan diadili. Dengan demikian penuntutan hanya
dilakukan atas kejadian-kejadian yang berlangsung di distrik Liquica,
Dili dan Suai dalam kurun April dan September 1999.
13. Implikasi Penanganan Kejahatan internasional (pelanggaran
HAM) terhadap Politik Nasional dan implikasi politik nasional
terhadap Ketahanan Nasional
Penanganan kejahatan internasional (pelanggaran HAM) bukanlah
masalah yuridis semata-mata (legally heavy) melainkan juga berkaitan
dengan masalah politik (political heavy). Hal ini dimungkinkan sehubungan
dengan pengaruhnya terhadap pemantapan politik nasional dalam rangka
ketahanan nasional, karena menimbulkan implikasi yang sangat serius
terhadap sistem ketatanegaraan, hukum, politik, dan sosial, termasuk
bidang ekonomi Indonesia.14 Implikasi tersebut terutama adalah terkait
dengan pemberlakuan atau penerapan yurisdiksi kriminal dari MPI (ICC)
baik yang bersifat Ad Hoc maupun permanen.
Implikasi penanganan kejahatan internasional (pelanggaran HAM)
terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia adalah bahwa MPI (ICC) dapat
menerapkan atau menjalankan yurisdiknya terhadap kejahatan
14 Iza Fadri, Prospek Hukum Pidana Internasional dan Tantangan Polri, Orasi
Ilmiah pada Pengukuhan Guru Besar STIK-PTIK, Jakarta: STIK-PTIK, 29 Mei 2013.