Page 13 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 13
27
transparansi, adanya keberpihakan, adanya lembaga penegak
hukum dan institusi pemerintah yang masih menonjolkan ego
sektoral, lemahnya independensi dalam penegakan hukum.
Padahal, praktik korupsi polisi, jaksa dan hakim tidak bisa
dilepaskan dari keteribatan advokat. Banyak advokat/pengacara
yang kukuh mempertahankan idealisme profesinya, tetapi tidak
dipungkiri bahwa banyak pula yang mengahalalkan segala cara
atau yang dikenal sebagai Devil’s Advocate, termasuk melakukan
suap kepada penyidik, penuntut ataupun hakim, aagr kliennya
dibebaskan atau mendapat hukuman seringan mungkin. Kondisi ini
mengindikasikan rendahnya integritas, kredibilitas dan
profesionalitas aparat penegak hukum dalam mewujudkan tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
e. Gatra Politik
Pemberantasan tindak pidana korupsi pada gatra politik, di
antaranya ditandai dengan pemberlakuan otonomi daerah yang
memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada kepala daerah
yang disertasi dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara. Meskipun demikian, peran
institusi pemerintah di pusat dan daerah, baik legislatif maupun
eksekutif, masih rendah, yang ditandai dengan banyaknya aparat
penyelenggara negara justru terlibat kasus korupsi.
Realita menunjukkan bahwa pemantauan terhadap hasil
pemeriksaan BPK sejak tahun 2003 sampai dengan akhir tahun
2012 telah menemukan sebanyak 319 temuan berindikasi tindak
pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, BPK telah menyampaikan
kepada Kepolisian sebanyak 37 temuan, Kejaksaan sebanyak 174
temuan, dan KPK sebanyak 108 temuan. Sisa kasus yang belum
ditindaklanjuti atau belum ada informasi mengenai tindak lanjutnya
dari instansi yang berwenang sebanyak 133 temuan.
Terkait kebijakan politik, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi