Page 11 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 11
93
memperkuat diri/negara, agar kekuatan dominasi semakin hebat.44
Para ilmuwan dibelenggu oleh proyek-proyek penelitian yang
sepenuhnya diarahkan untuk kepentingan perang. Beberapa
ilmuwan memberontak tapi tidak bisa berbuat apa-apa.45
Dalam lingkup negara (senapas dengan yang terjadi dalam
lingkup masyarakat dan institusi)46, kekerasan juga melahirkan
konflik berkepanjangan dan bahkan perpecahan. Dan dalam lingkup
individu, kekerasan melahirkan berbagai ‘cacat’, antara lain trauma,
dendam, kemarahan, dan sifat-sifat psikologis lainnya.47
44Sejarah dunia memperlihatkan, sedikitnya dalam dua dasawarsa sebelum Perang Dunia
II meletus, dunia dibanjiri penemuan-penemuan peralatan dan persenjataan perang. Pada
Perang Dunia II, senjata yang digunakan sudah tidak manual lagi melainkan sudah senjata
semiotomatis dan senjata otomatis. Pesawat terbang dan kapal laut/perang yang
digunakan sudah semakin canggih—dan ini membuktikan kemajuan dunia kedirgantaraan
dan kelautan yang diarahkan untuk kepentingan perang. Roket juga menjadi andalan
untuk menghancurkan musuh. Di bidang kedokteran, Penemuan obat baru dan prosedur
medis modern lahir karena banyak korban jatuh. Ilmu kejiwaan dimanfaatkan untuk
membuat seorang prajurit tidak mengenal lelah dan takut. Rekayasa genetika
dimanfaatkan untuk mencetak prajurit-prajurit handal dan tak takut mati demi negaranya.
Dan penemuan paling fenomenal saat itu adalah bom atom, yang menjadi tanda penelitian
mengenai nuklir berkembang.. Memang, saat ini penemuan-penemuan tersebut telah
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sipil dab kemanusiaan, misalnya roket
menjadi cikal-bakal penjelajahan luar angkasa; nuklir dimanfaatkan sebagai sumber
energi, dan seterusnya. Namun umat manusia harus membayar sangat mahal hingga ^
penemuan-pemenuan tersebut bermanfaat bagi kehidupan.
45 Riwayat Hidup filsuf Jerman, Max Horkheimer dapat menjadi cermin bagaimana
kekerasan mempengaruhi pemikiran dari optimis menjadi pesimis. Deskripsi mengenai
pemikiran dan kehidupan Filsuf ini tergambar dengan baik dalam Sindhunata, Dilema
Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modem oleh Max Horkheimer dalam rangka
Sekolah Frankfurt, Gramedia, 1982.
46 Perang tanpa akhir Israel-Palestina, pemberontakan suku Kurdi, pemberontakan Suku
Pattani (di Thailand), terorisme ISIS dan sebangsanya, semuanya— atas nama apa pun—
sarat kandungan tindak kekerasan. Dan terbuktikan lagi, kekerasan tidak menyelesaikan
masalah. Kekerasan justru melahirkan berbagai persoalan baru.
47 Dalam konteks komparasi, gagasan anti kekerasan ini turut pula ‘menyumbang
persoalan yang harus diselesaikan* yang kemudian melahirkan ide membentuk lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas). 'Rumah besar’ persoalannya adalah tragedi G30S/PKI
(1965) dan kesadaran pada sejarah bahwa usia kerajaan-kerajaan di Nusantara relatif
pendek. Kerajaan Sriwijaya yang perkasa, karena konflik internal, hanya bertahan sekitar
lima abad, dan Majapahit yang besar, juga karena konflik internal, hanya berumur sekitar
dua abad. Semuanya, malapetaka dan keruntuhan dua kerajaan itu, akibat tindak
kekerasan. Sadar akan pengalaman itu, Presiden Rl saat itu, lr. Soekarno mencetuskan
gagasan untuk diselenggarakannya pembelajaran dan pengkajian secara mendalam
terhadap prinsip-prinsip dasar yang perlu dianut, agar kehidupan bangsa ini dapat
berlangsung ribuan tahun dan bahkan selama-lamanya. Maka, lahirlah Lemhannas,
dengan tugas utama mengkaji bagaimana caranya agar NKRI bertahan selama-lamanya
dan merumuskan doktrin untuk diterapkan dalam pembangunan (Perpres No. 37 Tahun
1964). Menurut Bung Karno, pembangunan bangsa Indonesia harus mencakup
pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character buildings). Lihat: Prof.
Dr. lr. Bun Yamin Ramto, SE, Membangun Bangsa Indonesia Bersatu (Terpadu);
Pemikiran, Konsep, dan Contoh Pelaksanaan (ed. Djahar Muzakir), Pustaka Spirit: 2006.