Page 10 - Perpustakaan Lemhannas RI
P. 10

40

                Walaupun pada tingkat nasional prevalensi balita kurang gizi
       hampir mencapai target MDGs, namun masih terjadi disparitas
       antarprovinsi, antara pedesaan dan perkotaan, dan antarkelompok
       sosial ekonomi. Menurut data Riskesdas tahun 2007, disparitas
       antarprovinsi dalam prevalensi kekurangan gizi pada balita berkisar
       dari 10,9 persen (DIY) sampai dengan 33.6 persen (NTT).22

                Salah satu tujuan pembentukan daerah otonom adalah untuk
       meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Kondisi
       saat ini sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa meskipun
       secara nasional persentase penduduk miskin menurun, namun masih
       banyak provinsi yang berada di atas rata-rata garis kemiskinan
       nasional. Apabila lebih dirinci lagi pada tingkat kabupaten/kota, maka
      disparitas akan semakin terlihat antara daerah yang satu dengan
      daerah yang lain. Hal ini akan berimplikasi pada terjadinya gap atau
      kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial akan mengakibatkan
      suasana rawan konflik yang mengganggu keamanan.

               Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa tingkat
      kesejahteraan yang rendah terjadi di daerah Papua, Nusa Tenggara
      Timur, dan Maluku yang notabene merupakan daerah di kawasan
      perbatasan (Papua dan NTT) dan kepulauan (NTT dan maluku).
      Kesenjangan tingkat kesejahteraan di daerah-daerah tersebut dengan
      wilayah lain akan menimbulkan kekecewaan yang dapat berubah
      wujud menjadi bibit-bibit disintegrasi yang akan mengancam keutuhan
      NKRI. Kenyataan politis juga menunjukkan bahwa di wilayah tersebut
      terdapat upaya separatisme, yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM)
      maupun RMS. Sementara di NTT berdekatan dengan Timor Leste
      yang merupakan bekas provinsi Indonesia yang telah lepas.

               Pembentukan daerah otonom juga seringkali dilakukan
      berdasarkan kelompok etnis, sehingga memunculkan etnosentris atau
      sifat kedaerahan. Gejala ini selanjutnya ditandai dengan masalah
      dominasi, yaitu etnis di tingkat lokal yang cenderung menyadari
      keberadaannya sebagai “yang harus berkuasa di daerahnya sendiri”,

22 Ibid. Hal. 10.
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15